Rabu, 08 Februari 2012

hAffie Va: ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN HIPERTENSI

hAffie Va: ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN HIPERTENSI


ASKEP KATARAK PADA LANSIA


LAPORAN PENDAHULUAN
KATARAK


I.                               DEFINISI
Katarak adalah kekeruhan (bayangan seperti awan) pada lensa tanpa nyeri akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi akibat kedua-duanya yang dapat menyebabkan perubahan bayangan gambar dalam retina sehingga secara berangsur-angsur penglihatan kabur dan akhirnya tidak dapat menerima cahaya.

II.                            ETIOLOGI
1.             Katarak Senilis
Katarak senilis adalah  jenis katarak yang paling sering dijumpai. Satu-satunya gejala adalah distorsi penglihatan dan penglihatan semakin kabur. Secara paradoks, walaupun pada stadium insipien pembentukan katarak penglihatan jauh kabur, penglihatan dekat mungkin sedikit membaik, sehingga klien dapat membaca lebih baik tanpa kacamata (“second sight”). Miopia artifisial ini disebabkan oleh peningkatan indeks refraksi lensa pada stadium insipien.  
Tidak ada terapi medik untuk katarak. Ekstraksi lensa diindikasikan apabila penurunan penglihatan mengganggu aktivitas normal klien. Apabila timbul glaukoma akibat pembengkakan lensa, diindikasikan ekstraksi lensa secara  bedah. Glaukoma dan uveitis terinduksi lensa adalah penyulit katarak yang jarang terjadi. Uveitis terinduksi lensa memerlukan tindakan ekstraksi lensa secara bedah untuk mengeluarkan sumber peradangan.
Katarak senilis biasanya berkembang lambat selama beberapa tahun, dan klien mungkin meninggal sebelum timbul indikasi pembedahan. Tidak ada terapi obat untuk katarak, dan tidak dapat diambil dengan pembedahan laser. Yang dapat dilakukan adalah tindakan operasi/pembedahan. Tingkat keberhasilan pengembalian penglihatan yang bermanfaat dapat dicapai pada 95 % pasien. Indikasi dari pembedahan ini adalah: hilangnya penglihatan yang mempengaruhi aktifitas normal pasien, bila ketajaman pandang mempengaruhi keamanan atau kualitas hidup atau katarak yang menyebabkan glaukoma.
2.             Katarak Congenital
Katarak akibat infeksi virus dimasa pertumbuhan janin, genetic atau kelainan herediter sebagai akibat dari infeksi virus prenatal, seperti pada German Measles
3.             Katarak Juvenill
Katarak yang muncul selama proses perkembangan
4.             Katarak Traumatic
Katarak akibat trauma
5.             Katarak Ttrauma Toksik
Katarak akibat paparan zat kimia seperti terapi kortikosteroid sistemik, rokok, alkohol
6.             Katarak Komplikata
Katarak akibat penyakit mata yang lain seperti uveitis (glaucoma)
7.             Associated Katarak
Katarak yang berhubungan dengan penyakit spesifik karena kelainan sistemik atau metabolic seperti DM, galaktosemi distrofi miotonik

            Pada katarak senile dikenal 4 stadium yaitu Insipien, Imatur, Matur, dan Hipermatur :
Keterangan
Insipien
Imatur
Matur
Hipermatur
Kekeruhan cairan lensa iris



Bilik mata depan
Sudut bilik mata
Shadow test
Penyulit
Ringan
Normal
Normal


Normal
Normal
negative
      -
Sebagian
Bertambah
Terdorong


Dangkal sempit
Positf
Glaucoma

Seluruh
Normal
Normal


Normal
Normal
Negative
       -

Massif
Berkurang
Tremulans
(hanya bila zonula putus)
Dalam terbuka
Pseudopositif
Uveitis, glaukoma

III.                         MANIFESTASI KLINIS
Keluhan yang timbul adalah penurunan tajam penglihatan secara progresif dan penglihatan seperti berasap. Sejak awal katarak dapat terlihat melalui pupil yang telah berdilatasi dengan optalmoskop, slit lamp/shadow test. Setelah katarak bertambah matang maka retina menjadi semakin sulit untuk dilihat sampai akhirnya reflek fundus tidak ada dan pupil berwarna putih.

IV.                         PENATALAKSANAAN
Operasi katarak (Ekstraksi lensa)
Indikasi :
·         Secara klinis: bila ditemukan uveitis atau berkembang kearah glaukoma
§  Secara verbal: - bila monokuler harus stadium matur
-                     -  binokuler: visus orang buta huruf : 5/50
                                      visus orang terpelajar :5/20
            Pemeriksaan pre- op katarak
a)       Status lokalis
·                                                                                                             Fungsi retina harus baik-dengan test proyeksi
·                                                                                                             Tidak boleh ada infeksi pada mata atau jaringan sekitar (missal:uveitis)
·                                                                                                             Tak ada glaucoma, bahaya terjadi prolaps bola mata
·                                                                                                             Koreksi visus
b)      Status generalis, hindari kondisi berikut
·                   Hipertensi
·         DM karena luka sulit sembuh, mudah terjadi infeksi dan perdarahan post hifema sulit hilang
·         Batuk kronik karena bisa terjadi prolaps bola mata
·         Gagal jantung
Macam-macam operasi:
a)       ICCE (Intra Capsular Cataract Extraction)
Merupakan tindakan pengeluaran lensa bersama-sama dengan kapsul
b)      ECCE (Ekstra Capsular Cataract Extraction)
Dilakukan dengan merobek kapsul anterior dan mengeluarkan inti lensa dan kortek, sedang sisa lensa diharapkan keluar bersama dengan aqueoshumour

            Post operasi:
            Tujuan : cegah infeksi dan terbukanya luka operasi
             Pasien diminta tidak banyak bergerak dan menghindari mengangkat beban berat selama sebulan. Mata ditutup selama beberapa hari selama beberapa minggu harus dilindungi dengan pelindung logam pada malam hari. Kacamata permanent diberikan 6-8 minggu setelah operasi.

V.                            PENGKAJIAN
1.       Biodata
      Meliputi: nama, umur, alamat, pekerjaan.
      Katarak congenital biasanya terjadi pada sebelum atau segera setelah lahir dan bayi berusia kurang dari 1 tahun. Katarak juvenill terjadi pada usia kurang 9 tahun dan lebih 3 bulan. Katarak senile terdapat pada usia lanjut yaitu diatas 50 tahun.
2.       Riwayat penyakit
·         Apa yang menyebabkan terjadinya katarak?
·         Berapa lama katarak terjadi?
·         Bagaimana keluhan yang dirasakan?
·         Dimana katarak terjadi?
·         Penyakit yang selama ini diderita?
·         Penyakit atau riwayat prenatal (pada katarak congenital)?
·         Penyakit herediter, menular, congenital pada riwayat penyakit keluarga?
3.       Aktivitas
      Gejala: perubahan aktivitas biasanya atau hobi sehubungan dengan gangguan penglihatan.
4.       Neorosensori
      Gejala: gangguan penglihatan (kabur/tidak jelas), kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat atau merasa diruang gelap, perubahan kacamata atau pengobatan tidak memperbaiki penglihatan.
5.       Pemeriksaan penunjang
·         Snellen card : untuk memeriksa ketajaman penglihatan
·         Pengukuran tonografi: mengkaji TIO(~ 12-25 mmHg)
·         Pemeriksaan optalmoskop: adanya dilatasi (untuk memastikan diagnosa)
·         DL/LED: menunjukkan anemia sistemik dan infeksi
·         Test toleransi glukosa: menentukan atau control terdapat penelitian DM

VI.                         MASALAH KEPERAWATAN
·         Pre operasi:
1.      Gangguan persepsi sensori (visual)
2.      Resiko cedera (jatuh)
3.      deficit perawatan diri
4.      Defisit pengetahuan
5.      Takut/cemas
6.      Isolasi sosial
·         Post Operasi
1.      Nyeri akut
2.      gangguan persepsi sensori
3.      Resiko cedera (jatuh)
4.      Isolasi social
5.      deficit perawatan diri
6.      Defisit pengetahuan
7.      Ansietas (cemas)
8.      Gangguan konsep diri
9.      Ketidakefektifan penatalaksanaan program terapiutik

VII.                      DIAGNOSA dan INTERVENSI
Pre Operasi:
1)      Gangguan persepsi sensori (visual) s/d kekeruhan pada lensa mata
Tujuan : respon klien terhadap rangsang meningkat sehingga disorientasi klien dapat dikurangi
Criteria standart:
·         Klien mampu mendemonstrasikan perbaikan terhadap rangsang visual dan mengkomunikasikan keterbatasan visual
·         Klien mampu mengidentifikasi factor-faktor yang mempengaruhi fungsi penglihatan
·         Klien mampu mengidentifikasifaktor-faktor atau sumber alternative stimuli
Intervensi:
1.       Tentukan ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau kedua mata terlibat
R: Kebutuhan individu bervariasi sebab kehilangan penglihatan terjadi lambat atau progresif
2.       Orientasikan klien terhadap lingkungan, staf, orang lain di areanya
R: Memberikan peningkatan kenyamanan dan kekeluargaan
3.       Rubah lingkungan sesuai kebutuhan penglihatan klien
Ø  Letakkan alat-alat yang sering digunakan dalam jangkauan klien dan pada lokasi yang sama
Ø  Atur pencahayaan ruangan yang dapat membentu penglihatan klien
Ø  Hindari cahaya silau
Ø  Gunakan bahan-bahan yang bertuliskan huruf besar atau berwarna kontras
                         R: Memberikan rasa nyaman dan aman, lebih mudah melihat
4.       Kaji jenis dan jumlah stimuli yang disukai klien dan disarankan klien terhadap rangsang (radio, TV, percakapan)
R: Melatih indera non visual
5.       Sediakan sumber-sumber stimuli jika dibutuhkan
R: Memberi klien fasilitas yang dibutuhkan
2)      Resiko tinggi cedera (jatuh) s/d kesulitan dalam proses bayangan visual dan paham kedalaman persepsi
Tujuan: masalah resiko tidak menjadi actual
Kriteria standart:
·         Klien tidak mengalami cedera
·         Klien mampu mengidentifikasi dan menghilangkan bahaya lingkungan
·         Klien melaporkan tidak jatuh
·         Klien mampu mengidentifikasi alasan yang meningkatkan jatuh
Intervensi:
1.       Berikan nasehat bahwa menutup mata sebelah akan merubah kedalaman persepsi dan mempersempit lapang pandang
R: Klien mengetahui tingkat kemampuan yang dimiliki
2.       Ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi klien
Ø  Kunci roda dari kursi roda atau tempat tidur
Ø  Berikan pencahayaan yang adekuat
Ø  Upayakan klien turun dari tempat tidur dengan posisi tempat tidur yang rendah dan tidak pada sisi yang terkena
R: Mengurangi potensi yang berbahaya dari lingkungan klien
3.       Ajari klien perubahan posisi secara perlahan
4.       Ajari klien untuk menjangkau benda-benda agar tidak jatuh saat berjalan
5.       Dorong klien menggunakan alat-alat adaptif seperti tongkat berjalan jika diperlukan

Post Operasi:
1)      Resiko tinggi cedera (jatuh) s/d peningkatan TIO, perdarahan intra okuler
Tujuan: memberi keamanan yang sesuai sehingga masalah tidak menjadi actual
Criteria standart:
·         Klien dapat menyatakan pemahaman factor yang terlibat dalam kemungkinan cedera
·         Klien menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk meningkatkan factor resiko dan untuk melindungi diri dari cedera
·         Mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan
Intervensi:
1.      Diskusikan apa yang terjadi pada pasca operasi misalnya tentang nyeri, pembatasan aktivitas, penampilan, balutan mata
R: Membantu mengurangi rasa takut dan meningkatkan kerjasama dalam pembatasan aktivitas yang diperlukan
2.      Beri pasien posisi bersandar, kepala tinggi atau miring ke posisi yang tidak sakit sesuai keinginan
R:   Istirahat, menurunkan tekanan pada mata yang sakit, meminimalkan resiko perdarahan atau stress pada jahitan
3.      Batasi aktivitas seperti mengerakkan kepala tiba-tiba, menggaruk mata, membungkuk
R: Menurunkan stress pada area operasi atau menurunkan TIO
4.      Dorong nafas dalam batuk efektif untuk bersihan paru
R:   Batuk yang tidak efektif dapat meningkatkan TIO
5.      Pertahankan perlindungan mata sesuai indikasi
R: Digunakan yang melindungi dari cedera, kecelakaan dan menurunkan gerakan bola mata
6.      Observasi pembengkakan luka
R:   Menunjukkan reaksi radang/kerusakan jahitan/TIO
7.      Kolaborasi: berikan obat sesuai indiksi seperti antiemetik
R:   Rasa mual muntah dapat meningkatkan TIO
2)      Gangguan persepsi sensorik (visual) s/d gangguan penerimaan sensori/status organ penginderaan
Tujuan: membatasi respon klien terhadap rangsangan, mengkompensasi perubahan
Intervensi:
1.      Meningkatkan ketajaman penglihatan, catat apakah satu/kedua mata terlihat
R: Kebutuhan individu dan pilihan intervensi bervariasi sebab kehilangan penglihatan terjadi lambat/progresif
2.      Orientasikan klien terhadap staf, lingkungan, orang lain diareanya
R:   Memberikan peningkatan kenyamanan dan kekeluargaan, menurunkan cemas pasca operasi
3.      Observasi tanda-tanda gangguan disorientasi, pertahankan pagar tempat tidur sampai sembuh dari anastesi
R: Menurunkan resiko jatuh bila klien bingung atau tidak kenal ukuran tempat tidur
4.      Pendekatan dari sisi yang tidak dioperasi, bicara dan menyentuh sering-sering, dorong orang terdekat tinggal dengan klien
R:   Memberikan rangsang sensori tepat terhadap isolasi dan menurunkan bingung
5.      Letakkan barang yang dibutuhkan atau poaiai bel pemanggil dalam jangkauan pada poaiai yang tidak dioperasi
R:   Memungkinkan klien melihat obyek lebih mudah dan memudahkan panggilanuntuk pertolongan bila diperlukan















Jumat, 03 Februari 2012

ASKEP PLATTING FEMUR


ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN PEMBEDAHAN “PLATTING FEMUR”


I.    KONSEP MEDIS


1.      Definisi:
Fraktur:
§  Hilangnya kesinambungan substansi tulang dengan atau tanpa pergeseran fragmen-fragmen fraktur.
§  Terputusnya hubungan/kontinuitas jaringan tulang.
Platting:
§  Tindakan pembedahan yang bertujuan untuk mereposisi dan memfiksasi fragmen tulang yang mengalami fraktur dengan jalan pemasangan plat (fiksasi internal).

2.      Fraktur:

Etiologi Fraktur:
a.       Trauma            :          
·         Langsung (kecelakaan lalulintas)
·         Tidak langsung (jatuh dari ketinggian dengan posisi berdiri/duduk sehingga terjadi fraktur tulang belakang )
b.       Patologis       : Metastase dari tulang
c.        Degenerasi
d.       Spontan        : Terjadi tarikan otot yang sangat kuat.

Jenis Fraktur:

a.        Menurut jumlah garis fraktur :           
·         Simple fraktur (terdapat satu garis fraktur)
·         Multiple fraktur (terdapat lebih dari satu garis fraktur)
·         Comminutive fraktur (banyak garis fraktur/fragmen kecil yang lepas)
b.       Menurut luas garis fraktur :
·         Fraktur inkomplit (tulang tidak terpotong secara langsung)
·         Fraktur komplit (tulang terpotong secara total)
·         Hair line fraktur (garis fraktur hampir tidak tampak sehingga tidak ada perubahan bentuk tulang)
c.        Menurut bentuk fragmen :
·         Fraktur transversal (bentuk fragmen melintang)
·         Fraktur obligue (bentuk fragmen miring)
·         Fraktur spiral (bentuk fragmen melingkar)
d.       Menurut hubungan antara fragmen dengan dunia luar :
·         Fraktur terbuka (fragmen tulang menembus kulit), terbagi 3 :
I.           Pecahan tulang menembus kulit, kerusakan jaringan sedikit, kontaminasi ringan, luka <1 cm.
II.        Kerusakan jaringan sedang, resiko infeksi lebih besar, luka >1 cm.
III.     Luka besar sampai ± 8 cm, kehancuran otot, kerusakan neurovaskuler, kontaminasi besar.
·         Fraktur tertutup (fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar)

Gambaran Klinis:

Tanda-tanda klasik fraktur:
  1. Nyeri
  2. Deformitas
  3. Krepitasi
  4. Bengkak
  5. Peningkatan temperatur lokal
  6. Pergerakan abnormal
  7. Echymosis
  8. Kehilangan fungsi
  9. Kemungkinan lain.

 

Patofisiologi:


Fraktur
Periosteum, pembuluh darah di kortek
dan jaringan sekitarnya rusak
·         Perdarahan
·         Kerusakan jaringan di ujung tulang
Terbentuk hematom di canal medula
Jaringan mengalami nekrosis
Nekrosis merangsang terjadinya peradangan, ditandai :
1.      Vasodilatasi
2.      Pengeluaran plasma
3.      Infiltrasi sel darah putih


Tahap Penyembuhan Tulang:

1.      Hematom :
§  Dalam 24 jam mulai pembekuan darah dan haematom
§  Setelah 24 jam suplay darah ke ujung fraktur meningkat
§  Haematom ini mengelilingi fraktur dan tidak diabsorbsi selama penyembuhan tapi berubah dan berkembang menjadi granulasi.
2.      Proliferasi sel :
§  Sel-sel dari lapisan dalam periosteum berproliferasi pada sekitar fraktur
§  Sel ini menjadi prekusor dari osteoblast, osteogenesis berlangsung terus, lapisan fibrosa periosteum melebihi tulang.
§  Beberapa hari di periosteum meningkat dengan fase granulasi membentuk collar di ujung fraktur.
3.      Pembentukan callus :
§  Dalam 6-10 hari setelah fraktur, jaringan granulasi berubah dan terbentuk callus.
§  Terbentuk kartilago dan matrik tulang berasal dari pembentukan callus.
§  Callus menganyam massa tulang dan kartilago sehingga diameter tulang melebihi normal.
§  Hal ini melindungi fragmen tulang tapi tidak memberikan kekuatan, sementara itu terus meluas melebihi garis fraktur.
4.      Ossification
§  Callus yang menetap menjadi tulang kaku karena adanya penumpukan garam kalsium dan bersatu di ujung tulang.
§  Proses ossifikasi dimulai dari callus bagian luar, kemudian bagian dalam dan berakhir pada bagian tengah
§  Proses ini terjadi selama 3-10 minggu.
5.      Consolidasi dan Remodelling
§  Terbentuk tulang yang berasal dari callus dibentuk dari aktivitas osteoblast dan osteoklast.

 

Komplikasi Fraktur:


1.      Umum :
§  Shock
§  Kerusakan organ
§  Kerusakan saraf
§  Emboli lemak

2.      D i n i  :
§  Cedera arteri
§  Cedera kulit dan jaringan
§  Cedera partement syndrom.
3.      Lanjut :
§  Stiffnes (kaku sendi)
§  Degenerasi sendi
§  Penyembuhan tulang terganggu :
o   Mal union
o   Non union
o   Delayed union
o   Cross union

 

Penatalaksanaan:


1.      Reduksi untuk memperbaiki kesegarisan tulang (menarik).
2.      Immobilisasi untuk mempertahankan posisi reduksi, memfasilitasi union :
§  Eksternal   gips, traksi
§  Internal                  nail dan plate
3.      Rehabilitasi, mengembalikan ke fungsi semula.

3.      Platting:
Salah satu penatalaksanaan fraktur adalah pembedahan pemasangan plat dengan tujuan untuk mencapai reduksi/reposisi dan fiksasi yang optimal.

Keuntungan Platting:
1.      Reduksi/reposisi untuk memperbaiki kesegarisan tulang memuaskan
2.      Fiksasi lebih stabil dan kuat
3.      Memperpendek masa imobilisasi, rehabilitasi dapat tercapai lebih cepat

Kerugian Platting:
1.      Platting merupakan tindakan pembedahan yang memerlukan anestesi sehingga tidak semua orang bersedia menjalaninya
2.      Kemungkinan infeksi jauh lebih besar dengan adanya benda asing (plat). Risiko infeksi (osteomielitis kronis) 3 kali lebih tinggi pada tindakan fiksasi internal dibanding dengan penatalaksanaan konservatif.
3.      Perforasi periosteum dan korteks tulamg dengan plat dan sekrup menggangu aliran darah ke dalam tulang
4.      Alat fiksasi interna kemudian harus diambil melalui tindakan pembedahan kedua kalinya.


II.      KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1.      PENGKAJIAN


a.      Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik:

Gejala-gejala fraktur tergantung pada lokasi, berat dan jumlah kerusakan pada struktur lain. Berdasarkan klasifikasi Doenges dkk. (2000) riwayat keperawatan yang perlu dikaji adalah:
1)      Aktivitas/istirahat:
Gejala:
-          Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera akibat langsung dari fraktur atau akibat sekunder pembengkakan jaringan dan nyeri.

2)      Sirkulasi:
Tanda:
-          Peningkatan tekanan darah mungkin terjadi akibat respon terhadap nyeri/ansietas, sebaliknya dapat terjadi penurunan tekanan darah bila terjadi perdarahan.
-          Takikardia
-          Penurunan/tak ada denyut nadi pada bagian distal area cedera, pengisian kapiler lambat, pucat pada area fraktur.
-          Hematoma area fraktur.

3)      Neurosensori:
Gejala:
-          Hilang gerakan/sensasi
-          Kesemutan (parestesia)
Tanda:
-          Deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot, kelemahan/kehilangan fungsi.
-          Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera akibat langsung dari fraktur atau akibat sekunder pembengkakan jaringan dan nyeri.
-          Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau trauma lain.

4)      Nyeri/Kenyamanan:
Gejala:
-          Nyeri hebat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area fraktur, berkurang pada imobilisasi.
-          Spasme/kram otot setelah imobilisasi.

5)      Keamanan:
Tanda:
-          Laserasi kulit, perdarahan
-          Pembengkakan lokal (dapat meningkat bertahap atau tiba-tiba)

6)      Penyuluhan/Pembelajaran:
-          Imobilisasi
-          Bantuan aktivitas perawatan diri
-          Prosedur terapi medis dan keperawatan

b.      Pengkajian Diagnostik:

Pemeriksaan diagnostik yang sering dilakukan pada fraktur adalah:
1)          X-ray:
-  menentukan lokasi/luasnya fraktur
2)          Scan tulang:
-  memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3)          Arteriogram
-  dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
4)          Hitung Darah Lengkap
-   hemokonsentrasi mungkin meningkat,  menurun pada perdarahan; peningkatan lekosit sebagai respon terhadap peradangan.
5)          Kretinin
-  trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens ginjal
6)          Profil koagulasi
-  perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi atau cedera hati.

 


2.      Diagnosa dan Intervensi Keperawatan:

 

a.       Risiko cedera b/d gangguan integritas tulang


INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.    Pertahankan tirah baring dan imobilisasi sesuai indikasi.

2.    Bila terpasang gips/bebat, sokong fraktur dengan bantal atau gulungan selimut untuk mempertahankan posisi yang netral.

3.    Evaluasi pembebat terhadap resolusi edema.


4.    Bila terpasang traksi, pertahankan posisi traksi (Buck, Dunlop, Pearson, Russel)


5.    Yakinkan semua klem, katrol dan tali berfungsi baik.

6.    Pertahankan integritas fiksasi eksternal.



7.    Kolaborasi pelaksanaan kontrol foto.


Meningkatkan stabilitas, meminimalkan gangguan akibat perubahan posisi.

Mencegah gerakan yang tak perlu akibat perubahan posisi.



Penilaian kembali pembebat perlu dilakukan seiring dengan berkurangnya edema

Traksi memungkinkan tarikan pada aksis panjang fraktur tulang dan mengatasi tegangan otot untuk mempercepat reunifikasi fragmen tulang

Menghindari iterupsi penyambungan fraktur.

Keketatan kurang atau berlebihan dari traksi eksternal (Hoffman) mengubah tegangan traksi dan mengakibatkan kesalahan posisi.

Menilai proses penyembuhan tulang.

b.      Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.


INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.  Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, bebat dan atau traksi

2.  Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.

3.  Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.

4.  Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase, perubahan posisi)

5.  Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi visual, aktivitas dipersional)

6.  Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama) sesuai keperluan.

7.  Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.


8.  Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval, perubahan tanda-tanda vital)


Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi.


Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri.

Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi vaskuler.

Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area tekanan lokal dan kelelahan otot.

Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.


Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri.


Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer.

Menilai erkembangan masalah klien.


 


c.       Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)


INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.    Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan jari/sendi distal cedera.

2.    Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat.


3.    Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada kontraindikasi adanya sindroma kompartemen.


4.    Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan.


5.    Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi yang normal.


Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi.


Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya penyesuaian keketatan bebat/spalk.

Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan penurunan perfusi.

Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk menurunkan trombus vena.

Mengevaluasi perkembangan masalah klien dan perlunya intervensi sesuai keadaan klien.


 

 

d.      Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)


INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.    Instruksikan/bantu latihan napas dalam dan latihan batuk efektif.

2.    Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang aman sesuai keadaan klien.

3.    Kolaborasi pemberian obat antikoagulan (warvarin, heparin) dan kortikosteroid sesuai indikasi.



4.    Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, kalsium, LED, lemak dan trombosit





5.    Evaluasi frekuensi pernapasan dan upaya bernapas, perhatikan adanya stridor, penggunaan otot aksesori pernapasan, retraksi sela iga dan sianosis sentral.


Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi.

Reposisi meningkatkan drainase sekret dan menurunkan kongesti paru.

Mencegah terjadinya pembekuan darah pada keadaan tromboemboli. Kortikosteroid telah menunjukkan keberhasilan untuk mencegah/mengatasi emboli lemak.

Penurunan PaO2 dan peningkatan PCO2 menunjukkan gangguan pertukaran gas; anemia, hipokalsemia, peningkatan LED dan kadar lipase, lemak darah dan penurunan trombosit sering berhubungan dengan emboli lemak.

Adanya takipnea, dispnea dan perubahan mental merupakan tanda dini insufisiensi pernapasan, mungkin menunjukkan terjadinya emboli paru tahap awal.

 

e.       Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)


INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.    Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien.

2.    Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun yang sehat sesuai keadaan klien.



3.    Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai indikasi.

4.    Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien.

5.    Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.


6.    Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.

7.    Berikan diet TKTP.



8.    Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.


9.    Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi.


Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol diri/harga diri, membantu menurunkan isolasi sosial.


Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi.

Mempertahankan posis fungsional ekstremitas.


Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien.

Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia)

Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah komplikasi urinarius dan konstipasi.

Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh.

Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program aktivitas fisik secara individual.

Menilai perkembangan masalah klien.



f.       Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)


INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.    Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat tenun kencang, bantalan bawah siku, tumit).

2.    Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal bebat/gips.


3.    Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal

4.    Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi pen/traksi.


Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas.



Meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan kelemasan kulit dan otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi.

Mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan akibat kontaminasi fekal.

Menilai perkembangan masalah klien.

 


g.      Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)


INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.    Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protokol

2.    Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi pen.

3.    Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi.



4.    Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED, Kultur dan sensitivitas luka/serum/tulang)


Observasi tanda-tanda vital dan  tanda-tanda peradangan lokal pada luka.

Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan luka.

Meminimalkan kontaminasi.


Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat digunakan secara profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus.

Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi, anemia dan peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis. Kultur untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi.

Mengevaluasi perkembangan masalah klien.

 


h.      Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.


INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.    Kaji kesiapan klien mengikuti program pembelajaran.



2.    Diskusikan metode mobilitas dan ambulasi sesuai program terapi fisik.


3.    Ajarkan tanda/gejala klinis yang memerluka evaluasi medik (nyeri berat, demam, perubahan sensasi kulit distal cedera)

4.    Persiapkan klien untuk mengikuti terapi pembedahan bila diperlukan.



Efektivitas proses pemeblajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental klien untuk mengikuti program pembelajaran.

Meningkatkan partisipasi dan kemandirian klien dalam perencanaan dan pelaksanaan program terapi fisik.

Meningkatkan kewaspadaan klien untuk mengenali tanda/gejala dini yang memerulukan intervensi lebih lanjut.


Upaya pembedahan mungkin diperlukan untuk mengatasi maslaha sesuai kondisi klien.





DAFTAR PUSTAKA

Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta

Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta

Dudley (1992), Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi 11, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Dunphy & Botsford (1985), Pemeriksaan Fisik Bedah, Yayasan Essentia Medica, Jakarta.

Herman Santoso, dr., SpBO (2000), Diagnosis dan Terapi Kelainan Sistem Muskuloskeletal, Diktat Kuliah PSIK, tidak dipublikasikan.

Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, EGC, Jakarta