Minggu, 29 Januari 2012

PENGARUH DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP PERUBAHAN RESPONS SOSIAL-EMOSIONAL PASIEN HIV-AIDS DI UNIT PERAWATAN INTERMEDIET PENYAKIT INFEKSI RSU. Dr. SOETOMO SURABAYA

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
            Sejak ditemukannya penyakit AIDS (Acquired Imuno Deficiency Syndrome) dan virus penyebabnya HIV (Human Imunodeficiency Virus), muncul dampak yang begitu luas di masyarakat. Ketika individu dinyatakan terinfeksi HIV, sebagian besar menunjukkan perubahan karakter psikososial yaitu : hidup dalam stres, depresi, merasa kurangnya dukungan sosial, dan perubahan perilaku (WHO dalam Nasronudin, 2004). Wolcott, dkk (dalam Ader, 1991)  mengemukakan bahwa  penderita HIV-AIDS menghadapi situasi hidup dimana mereka sering menghadapi sendiri kondisinya tanpa dukungan dari teman dan keluarga yang memberi dampak kecemasan, depresi, rasa bersalah dan pemikiran atau perilaku bunuh diri. Kurangnya dukungan keluarga berdampak pada respons sosial (emosional) pasien tersebut. Respons sosial (emosional) yang positif dapat mendukung proses pengobatan sehingga progresivitas penyakit setidaknya dapat dihambat dan umur harapan hidup pasien HIV-AIDS lebih panjang.
            Dari hasil pengumpulan data yang dilakukan peneliti pada bulan Desember di Unit PIPI (Perawatan Intermediet Penyakit Infeksi) menunjukkan bahwa dari 80% responden penelitian sudah memperoleh dukungan dari keluarga. Namun pada kenyataannya dukungan keluarga yang mereka peroleh dirasakan masih kurang, mereka  cenderung tidak menerima kondisi anggota keluarganya yang terinfeksi, tidak



ada rasa cinta, dan tidak  ada  penerimaan  serta  kecemasan  yang  tinggi  sehubungan  dengan  prognosa penyakit dan biaya pengobatan sehingga respons sosial (emosional) pasien HIV-AIDS tersebut berkembang ke arah yang negatif.
            Jumlah orang yang terinfeksi HIV terus meningkat pesat dan tersebar luas di seluruh dunia. Di Indonesia sejak pertama kali dijumpai kasus infeksi HIV pada tahun 1987 hingga bulan Januari 2001 telah dilaporkan 1226 kasus infeksi HIV, 461 kasus AIDS secara kumulatif, dan 235 diantara pasien AIDS tersebut telah meninggal dunia. Di Propinsi Jawa Timur sampai tanggal 22 November 1999 prevalensi (kumulatif) HIV-AIDS sebanyak 77 kasus, terdiri dari 60 kasus pengidap HIV dan 17 pasien AIDS. Jumlah kasus terbanyak ada di Kota Surabaya sebanyak 45,5% dan diperkirakan akan terus meningkat sebesar 30% setiap tahunnya. Pada individu dengan  HIV positif sistem imunitasnya akan mengalami penurunan dan membutuhkan waktu beberapa tahun hingga ditemukannya gejala tahap lanjut dan dinyatakan sebagai penderita AIDS. Hal ini tergantung pada kondisi fisik dan psikologisnya. Sejak dinyatakan terinfeksi HIV penderita mengalami stres, dikarenakan tingginya tekanan psikososial yang mereka terima baik dari keluarga maupun masyarakat. Oleh karena itu dukungan sosial terutama dari keluarga penting artinya, dan sangat menentukan perkembangan penyakit yang berdampak pada ketiga aspek dalam respons sosial (emosional) pasien HIV-AIDS. Bila hal ini tidak segera diatasi maka dapat menurunkan kondisi kesehatan pasien, mempercepat progresivitas penyakit hingga timbulnya kematian.
            Bagi individu yang positif terinfeksi HIV, menjalani kehidupannya akan terasa sulit   karena   dari   segi  fisik   individu  tersebut  akan  mengalami   perubahan  yang


berkaitan dengan perkembangan penyakitnya, tekanan emosional dan stres psikologis yang  dialami  karena  dikucilkan  oleh keluarga  dan teman karena takut tertular, serta
adanya stigma sosial dan diskriminasi di masyarakat. Hal ini berdampak  pada respons sosial (emosional) pasien, sebagai contoh adanya stigma sosial yang dapat menyebabkan gangguan perilaku pada orang lain, termasuk menghindari kontak fisik dan sosial (Muma, 1997).  Mereka menjalani kehidupannya dalam kekhawatiran dan stress. Dengan menggunakan pendekatan Psychoneuroimunology dapat dijelaskan bahwa stres yang dialami pasien HIV-AIDS akan memodulasi sistem imun melalui jalur HPA (Hipothalamic-Pituitary-Adrenocortical) axis dan sistem limbik (yang mengatur emosi dan learning process). Kondisi stres tersebut akan menstimulasi hypothalamus untuk melepaskan neuropeptida yang akan mengaktivasi ANS (Autonomic Nerve System) dan hypofise untuk mengeluarkan kortikosteroid dan katekolamin yang merupakan hormon-hormon yang bereaksi terhadap kondisi stres. Peningkatan kadar glukokortikoid akan mengganggu sistem imunitas. Bila kondisi stres dapat dikendalikan maka modulasi sistem imun menjadi lebih baik. Stres yang lama dan berkepanjangan akan berdampak pada penurunan sistem imun dan mempercepat progresivitas penyakit.
            Dengan mencermati adanya keterkaitan antara kondisi stres dengan progresivitas penyakit maka perlunya menciptakan lingkungan yang kondusif selama proses pengobatan yaitu dengan cara meningkatkan dukungan sosial pada pasien HIV-AIDS.




Dukungan sosial  tersebut dapat  sangat membantu  setelah  mengalami stres dan penting untuk mengurangi gangguan psikologik yang berkaitan dengan HIV-AIDS. Tersedianya dukungan sosial itu sangat diperlukan sehubungan dengan rasa keputusasaan dan depresi pasien. Dan diharapkan dengan adanya dukungan dari keluarga stres berkurang dan respons sosial (emosional) pasien akan lebih baik, dimana respons emosi, kecemasan dan interaksi sosialnya menjadi lebih positif.

1.2    Rumusan Masalah
1.      Apakah pengaruh dukungan keluarga terhadap respons sosial-emosional (respons emosi) pasien HIV-AIDS?
2.      Apakah pengaruh dukungan keluarga terhadap respons sosial-emosional (respons kecemasan) pasien HIV-AIDS?
3.      Apakah pengaruh dukungan keluarga terhadap respons sosial-emosional (respons interaksi sosial) pasien HIV-AIDS?

1.3    Tujuan Penelitian
1.3.1    Tujuan Umum.
Menganalisis   pengaruh  dukungan   sosial   (keluarga)   terhadap   respons  sosial-emosional pada pasien HIV-AIDS.    
1.3.2        Tujuan Khusus.
1.      Menjelaskan pengaruh dukungan keluarga terhadap respons sosial-emosional (respons emosi) pada pasien dengan HIV-AIDS.



2.      Menjelaskan pengaruh dukungan keluarga terhadap respons sosial-emosional (respons kecemasan) pada pasien dengan HIV-AIDS.
3.      Menjelaskan pengaruh dukungan keluarga terhadap respons sosial-emosional (respons interaksi sosial) pada pasien dengan HIV-AIDS.

1.4    Manfaat Penelitian
1.4.1    Manfaat Teoritis.
Dari segi pengembangan ilmu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan   mekanisme   perubahan   respons  adaptasi  sosial  pada    pasien
HIV-AIDS dengan mengunakan pendekatan Model Adaptasi dari S.C. Roy yang dimodifikasi dengan Psychoneuroimunology.
1.4.2        Manfaat Praktis.
1.      Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman tentang pengaruh dukungan keluarga terhadap perubahan respons sosial (emosional) pada pasien HIV-AIDS.
2.      Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya merubah respons sosial (emosional) yang maladaptif pada pasien HIV-AIDS.
3.      Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dalam melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan topik permasalahan yang sama.




4.      Hasil penelitian ini dapat memberi masukan kepada sejawat perawat tentang pentingnya menangani kondisi stres pada pasien HIV-AIDS sehingga sejawat perawat dapat memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif.
5.      Diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan kontribusi yang positif bagi pasien HIV-AIDS dan keluarganya.


Artikel Terkait:




Artikel Terkait:




Artikel Terkait:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar